Cerita ini sebenernya berawal dari
pengalaman pribadi penulis dengan ayah penulis. Terlahir di keluarga
sederhana, tapi luar biasa. Ayah penulis merupakan seseorang dengan
background TNI AD dengan pangkat perwira menengah. Dan Ibu merupakan
seorang PNS di Puskesmas. Ayah hanya sekolah sampai tamat SMK, dan
memulai karir sebagai bintara. Sedangkan ibu tamatan D3 IKIP di
kabupaten Jombang.
Kejadian ini bermula saat saya duduk di
bangku SMK. Saat itu, saya sedang mengalami masa puber layaknya
anak-anak seumuran saya waktu itu. ABG. Ya, ABG! Sekedar informasi saja,
kejadian ini terjadi sekitar pertengahan tahun 2004.
Saat itu, tidak seperti kebanyakan anak
pada umumnya, saya memilih sekolah yang katanya orang-orang yang paham
dan tahu, merupakan sekolah terbaik untuk bidang kejuruan di
Informatika. Sejak saat itu pula saya hidup terpisah jauh dari orang
tua. Kebetulan orang tua tinggal di Bojonegoro, dan saya tinggal di
Malang. Begitu juga teman-teman seperjuangan saya. Hampir 80% mereka
berasal dari kota-kota di pulau Jawa. Secara otomatis alat komunikasi
menjadi kebutuhan primer bagi kebanyakan teman-teman. Rata-rata mereka
mempunyai Handphone yang notabene merupakan salah satu barang mewah pada
saat itu. Namun, tidak begitu dengan saya. Orang tua saya lebih memilih
untuk tidak membelikan saya HP. Karena alasan yang tidak jelas. Pada
suatu ketika, kakek dan nenek saya iba dan akhirnya membelikan HP untuk
alat komunikasi ke orang tua dan kakek nenek.
Kejadian serupa juga terjadi saat saya
menginjak kelas 2 SMK. Sebagian besar teman-teman saya sudah mempunyai
PC untuk mengeksplor kemampuan dan mengerjakan tugas, orang tua tidak
menggubris permintaan saya untuk membawa PC dari rumah. Sampai pada
suatu saat, saya bertanya kepada ayah saya.
“Kenapa ayah kok nggak pernah menuruti permintaanku yah?“
Saya masih ingat betul dengan jawaban dari ayah saya “Ayah
dan Ibu tidak akan menuruti apa yang anak ayah minta, tapi ayah secara
otomatis akan memenuhi kebutuhan anak-anak ayah tanpa kamu minta tepat
pada waktunya.“
Setelah jawaban ini meluncur dari mulut
ayah, saya terdiam. Berusaha memaknai apa yang diujar oleh ayah barusan.
Sampai suatu saat, saya menyadari ketika saya benar-benar membutuhkan
komputer. Tiba-tiba tanpa saya meminta lagi, ayah mentransfer uang lebih
dari cukup untuk membeli komputer yang sesuai dengan kebutuhan saya.
Pernah lagi dalam suatu momen, ketika
saya lulus dari SMK dan kebanyakan teman-teman saya lebih memilih untuk
mencari pekerjaan, Ayah dan Ibu tidak mengijinkan saya mencari
pekerjaan. BIG NO!
Lalu, saya pun membantah. Tapi bantahan
saya pun akhirnya lunak juga. Saya akhirnya menuruti keinginan ayah dan
ibu untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Disini pula lah, saya
mendapatkan pelajaran yang berharga dari ayah dan ibu.
“Harta itu bisa dicari kapanpun nak.
Ilmu yang bermanfaat akan jauh lebih berharga daripada harta yang akan
kamu dapatkan kelak. Ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan rejeki
dengan sendirinya.“
Dilanjutkan lagi oleh ayah, “Ayah
dan ibu kelak tidak bisa meninggalkan apa-apa ke kamu dan adikmu. Ayah
harap, ilmu yang kamu dapat kelak, amalkan lah. Manfaatkanlah. Kelak
akan menolongmu dan ayah ibu ketika ayah dan ibu sudah tidak bisa
mendampingi kalian berdua“
Jika ayah dan ibu membelikan kalian
rumah, motor, mobil, ataupun harta yang lainnya, jika kalian tidak bisa
mengelolanya. Tidak berilmu, maka akan sama dengan ayah dan ibu
mencelakakan kehidupan anak-anak ayah ibu. Karena ada tiga hal yang akan
dipertanggungjawabkan oleh ayah dan ibu kelak di akhirat, yaitu:
1. Ilmu yang bermanfaat
2. Amal jariyah
3. Anak-anak yang sholeh.
“Karena walaupun ayah hanya tamatan
STM, dan ibu hanya sampai D3, jika ayah dan ibu bisa menyekolahkan kamu
dan adik sampai S3, dan ilmumu kamu manfaatkan, ayah dan ibu pun
InsyaAllah akan kecipratan ilmu yang kamu amalkan nak.“
“Orang yang berilmu, bekerja keras,
tekun dan beriman serta bertaqwa kepada Alloh SWT, maka tidak akan
dibiarkan oleh Alloh SWT kelaparan dan kekurangan. Pasti akan
dicukupkan.“
Sampai pada beberapa bulan yang lalu,
ketika saya mengutarakan niat untuk melanjutkan ke jenjang S2, ayah dan
ibu diam-diam telah menjual satu-satunya mobil yang tiap hari digunakan
ayah ke kantor. Demi pendidikan saya dan adik kata beliau.
Inilah alasan saya, jawaban saya,
mengapa saya lebih suka membaca. Mencintai dan menikmati belajar dan
proses-proses yang ada di dalamnya. Kalimat-kalimat sakti yang keluar
dari Ayah dan Ibu itulah yang membuat saya semakin termotivasi.
Alhamdulillah, sejak kuliah saya hampir tidak pernah meminta kepada ayah
dan ibu. Walaupun hanya sekadar uang jajan. Karena prinsip saya, Selama saya masih mempunyai tangan, kaki, badan yang sehat dan otak yang mampu dibuat berpikir, saya tidak akan kekurangan.
Semoga apa yang diinvestasikan oleh ayah dan ibu dapat berbuah manis kelak. Aammiinn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar